Sebuah Penyadaran


Musim hujan kali ini begitu menusuk dinginnya.
Menurutku hujan memang selalu  dramatis. Daun-daun dari pohon-pohon besar dipinggir jalan berguguran. Anginnya kencang. Bunyi petir seperti suara monster yang terbatuk-batuk. Menggelegar dan menggetarkan rasanya. Ini seperti sebuah pesta, pesta alam. Kusamakan saja seperti manusia, jika tiba hari pesta, maka, ruangan yang sudah ditata rapi sebelumnya akan sangat berantakan. Orang-orang mabuk akan berjejer seperti ikan yang mati keracunan. Perabot-perabot akan penuh dengan limbah, lemak dari hewan-hewan  yang di sembelih dan dimakan berlebihan dalam semalam.
Aku melangkah pulang. Di bawah payung hitam yang sengaja kubeli sebelum berangkat kerja, aku masih saja bisa memikirkan tentang hujan dan membandingkannya dengan manusia.  Seolah-olah tak ada urusan lain yang bisa direnungkan. Sebenarnya pekerjaan yang kugeluti ini masih kusangsikan, halal atau tidaknya.
Bagian tubuhku yang lain sudah basah. Hanya ubun-ubunku saja yang aman dari serangan hujan. Sampai aku sempat berfikir sangat rugi rasanya memakai payung saat seperti ini. Tapi aku tidak perduli. Mungkin Tuhan sengaja mengirimkan hujan yang sebegini dahsyat untuk memandikan tubuhku yang telah kotor.
 Aku menyewakan tubuhku. Aku menyewakannya bagi semua orang, siapapun yang mampu membayarku lebih dan menghargaiku dengan layak. Aku bisa saja ditafsir perjam atau permalam. Tapi, ingat, aku hanya menyewakan tubuhku. Bukan menjualnya.


“Kakak…”
Suara dari dalam kamar kosku membuat hatiku hangat kembali. Ini satu-satunya alasanku untuk tetap hidup sampai sekarang. Seorang adik perempuan yang masih terlalu kecil. Masih terlalu kecil untuk hidup dengan cara seperti ini. Terlalu kekanakan untuk mengerti dan menimbang seberapa jahat aku sebenarnya.  Terlalu dini saat ditinggalkan orang tuaku.
“Kakak bawa ayam goreng kesukaanmu.” Aku mengulurkan ayam goreng dengan senyum. Memandangnya lekat dengan mata berkaca-kaca.
“Kakak baik-baik saja?”
Aku mengangguk.
Kadang aku ingin sekali mengajaknya berjalan-jalan di taman. Mengajaknya berkenalan dengan beberapa anak perempuan seusianya. Bermain petak umpet atau bermain ayun-ayunan. Sempat terbersit ide itu, tapi keberanianku hanya sebuah nama yang tak pernah ada kelanjutannya.
Kalau begini terus aku mungkin akan muak, tak tahan dengan beban moral ini. Aku seorang gadis yang menyewakan tubuh, tinggal bersama seorang gadis kecil yang belum paham siapa kakaknya, belum mengerti darimana asal makanan yang selama ini mengenyangkan perutnya. Suatu kali, jika ia mulai bersekolah, maka teman-temannya akan bertanya, mana ayah dan ibumu? Mengapa mereka tak pernah datang dan menjemput? Siapa perempuan berbaju aneh itu, dimana ia bekerja? Dan banyak lagi pertanyaan yang mungkin membuat adikku merasa bodoh di hadapan kawan-kawannya.  Lalu kawannya akan mulai mengatainya, mengejeknya sebagai anak pungut, anak bak sampah, anak pelacur atau bahkan anak haram. Tega sekali aku ini.
Mungkin harus mulai mencari pekerjaan baru. Yang lebih menjanjikan dan halal. Aku tak akan mau, jika aku tetap bekerja dengan cara ini, tertangkap polisi atau mendapat perlakuan keras dan mengharuskanku meninggalkan adikku sebatang kara pada akhirnya.
Tapi sayang, jaman seperti ini mencari pekerjaan yang halal dan cepat menghasilkan uang tak semudah itu. Dimana aku harus menawarkan jasa? Bisa apa aku? Aku hanya punya ijazah SMA. Hanya surat-suratku yang selamat dari perebutan harta setelah kedua orang tuaku berakhir hidupnya dengan tiba-tiba.
Dering ponsel membuatku sadar dari dilemaku.
“Ya, aku akan berangkat sekarang, dengan perempuan? Tidak masalah.”
“Mau pergi kak?”
Aku cepat-cepat memalingkan wajah. Takut. Entah untuk apa. “Ya…”
Setelah mengecup adikku aku segera berangkat menuju hotel yang dijanjikan. Menunggu di kamar dengan tenang. Ini tahun kedua selama aku bekerja seperti ini. Aku tak kawatir sama sekali. Tak punya rasa takut.
“Kau begitu cantik, mengapa melacur?” wajah perempuan ini mencari-cari mataku yang meredup.
“Kau begitu sopan mengapa menyewa pelacur?” aku masih menunduk. Sejak dua tahun, ini pertama kalinya. Aku harus menjawab soal dulu sebelum bekerja.

“Kesopanan bukan jaminan seseorang untuk selalu berada pada jalur yang dianggap baik oleh manusia.” Baru kudengar warna suaranya setelah kalimat tanya yang panjang. Berat. Untuk ukuran perempuan.
“Dan kecantikan bukan jaminan seseorang untuk hidup tanpa keperluan serius sampai akhirnya melacur.” Kenapa aku menjadi sinis dan pemarah begini? Sudah lama aku berkutat pada urusan ranjang dan nyaris tak bicara menyangkut sosial seperti ini.
“Namaku Anda.” Dia tertawa kecil dan mengulurkan tangannya.
Bukan tawa menghina. Tapi tawanya mengingatkanku pada adikku, waktu aku belikan sebuah buku bergambar, sepulang bekerja.
Aku menyambut tangannya yang dingin. Halus. Dia pasti bukan pekerja kasar, atau memang tangan lelaki dan perempuan begitu berbeda? Ah… ibu… kau lihat aku? Kali ini aku minta, berhentilah mengawasiku dari sana. Aku malu.
“Aku, kau boleh memanggilku dengan nama apa saja.”
“Kenapa begitu?”
“Karena aku maunya begitu.”
Tawanya semakin menjadi, pipiku hangat rasanya. Tidak bisakah aku bekerja seperti biasanya dan mendapatkan uangku, lalu pergi dari sini? Haruskah aku dibuat malu oleh pertanyaan-pertanyaan iseng dan menggelitik seperti ini?
“Kenapa judes sekali?”
“Kalau begitu panggil saja aku Judes.” Aku jawab dengan singkat, tanpa menunggu tawanya selesai.
“Kenapa Judes?”
“Karena kau butuh tau namaku, Karena aku maunya dipanggil begitu.”
“Kau, tidak seperti penjual tubuh yang biasanya.” Dia mulai protes.
“Aku bukan penjual tubuh, aku menyewakannya saja.” Persetan. Aku tak perduli kalau tak dibayar. Aku menggamit tasku. Mengikat rambutku dan beranjak.
“Hei, Judes. Mau kemana? Aku belum selesai bicara, urusan kita belum selesai.”
“Bisakah aku hanya bekerja? Mendapatkan uangku lalu pergi? Tanpa perlu kau tanya ini itu?” Aku baru saja menatapnya untuk pertama kali. Perempuan tampan, Anda. Dia bukan gadis sembarangan. Apa ia titisan shikandin? Tokoh dalam buku-buku yang aku baca itu?
“Maaf, kau sepertinya lebih baik jika dipandangi saja, lalu diajak mengobrol dari pada di atas tempat tidur.”
“Aku tidak dibayar untuk itu.”
“Aku bayar sama.”
“Itu bukan pekerjaanku. Datanglah ke psikolog untuk mengobrol.”
“Ahahahaha… bisakah kau bercerita sesuatu sambil bekerja? Aku tambah uangmu kalau kau mau.”
“Tidak terimakasih.”
Di rangkulnya aku, halus sekali. Hangat. Ah…. Ibu…
“Judes, kau seperti adik perempuanku, sangat tegas dan cerdas. Kalau aku menidurimu, sama artinya aku meniduri adikku sendiri.” Katanya semakin rendah.
“Kalau kau terus menerus menyewa seorang pelacur, kau akan terus menerus meniduri adik perempuanmu.” Hei…hei… mengapa aku malah ngobrol. Seharusnya, sejak lima belas menit yang lalu aku sudah keluar dari kamar ini, pulang, atau pergi kemanapun. Aku sedang membuang waktu dan mungkin saja tidak akan dapat hasil apapun.
“Bisakah bicara apapun sekali saja, yang tidak ketus dan tidak membuat perasaan orang lain tergores? Aku bermaksud baik. Atau kau sudah tidak percaya lagi pada orang baik karena status pekerjaanmu? Aku butuh teman bicara. Aku begitu sepi. Aku akan bayar. Aku ajukan banyak penawaran…”
“Aku pelacur, bukan pasar.”
“Jangan potong kata-kataku Judes. Ini memang bukan kali pertama aku membayar. Entah, kau berbeda. Bukan karena aku perempuan yang menyukai perempuan lalu aku merayumu. Tapi ini benar. Aku tak pernah tau siapa kau selain ini. Maka aku tanya mengapa melacur. Kau terlalu cerdas untuk ini, kau tak layak untuk ini. Mengapa melacur? Bekerjalah yang lain, di kantorku ada tempat kosong. Tak perlu ijazah yang penting kau tekun. Ada juga perpustakaan di rumahku yang perlu dirapikan dan di bersihkan, sejak adik perempuanku tak ada, perpustakaan itu sunyi sekali. Kau boleh baca apapun di sana sambil membersihkan debunya.”
Aku diam.
“Maaf…” dia mengecup keningku. “Maaf…” lalu membelai rambutku. Kemudian melakukan hal-hal lain dengan mengucapkan kata maaf sebelumnya.
“Berhenti.”
Dia benar berhenti. Menatapku.
Kami diam.
Dia keluarkan dompet. Ada lembaran merah. Kuambil sesuai perjanjian.
“Ini kartu nama. Hapalkan nama dan alamatku dengan sungguh-sungguh. Kalau benar ingin berubah pikiran, cari aku. Kau tak akan selamanya begini kan?”
Aku baca dan kuhapalkan.  Namanya. Alamatnya. Kartu nama itu kusimpan. Aku pergi dengan segera.
Perasaan campur aduk ini membuatku lupa membawa pulang payungku. Entah apa namanya, malu, sungkan, merasa kotor. Aku menangis, ingat ayah, ibu. Mungkin mereka mengawasiku dari sana. Entah surga atau neraka. Aku lari, hujan semakin deras, aku tak perduli.

“Kakak, sudah pulang?”
Aku tersenyum. Lelah membuatku tak bisa bicara apa-apa selain tersenyum.
“Kapan aku boleh daftar sekolah? Aku sudah bisa baca, sudah lima tahun. Aku ingin sekolah…”
Aduh. Benar juga, ini tahun keempat. Sejak ibu dan ayah tidak ada. Sejak aku melacur. Sejak semua rutinitas membuatku tak punya daya untuk memanjakan adikku seperti anak kecil lainnya. Sebaiknya dia sekolah. Hanya saja, itu juga tidak mudah. Sampai kapan aku akan begini? Menyekolahkan adikku dengan uang hasil menyewakan tubuh? Nanti, aku juga akan menjadi renta dan tak bisa bekerja seperti ini, sedang adikku…
“Anda…”
“Anda…”
Gang-gang rumah elite kulewati satu persatu. Anda mungkin masih bisa membantuku seperti janjinya waktu itu. Begitu lama, tapi orang kaya tak mungkin dengan mudah berpindah dari rumah megah hasil jerih payahnya bukan?

“Siapa?”
“Saya temannya Anda. Saya bisa bertemu dengan perempuan bernama Anda? Dia tinggal di sini menurut kartu namanya.”
“Dia tidak ada. Tidak ada perempuan bernama Anda.”


Ditulis Oleh Akar Nawastu

2 comments:

  1. Yaa kaasian...c andanya pembohong donk...

    ReplyDelete
    Replies
    1. dalam waktu dua tahun pasti akan ada yang berubah. bisa saja tokoh anda meninggal, atau harus pindah. atau banyak alasan yang bisa di perkirakan pembaca. hidup ga seidealis dongeng kan?
      mungkin tokoh Judes terlalu angkuh untuk memberikan alamat atau nomor ponselnya.
      semua bisa terjadi.
      terimakasih sudah membaca dan koment. salam.

      Delete