Broken VOW


Aku memeluk guling dengan perasaan gelisah. Aku meraba bantal di sebelahku yang sudah hampir 2 minggu tidak ada yang memakainya. Aku membayangkan wajah Melisa yang akan datang besok pagi dari Singapore. Sebagai seorang marketing perusahaan asing, dia memang sering bepergian keluar negeri. Kadang dia bisa pergi sampai sebulan bahkan kalau ada product baru dan dia harus ikut training bisa sampai 3 bulan lamanya. Apalagi dia bukan tipe orang yang romantic, yang selalu ingat untuk sms atau email. Dia pekerja keras dan cenderung work alcoholic. Paling kami hanya Skype kalau dia sedang senggang di malam hari. Aku sendiri adalah tipe orang yang romantic. Aku suka memberinya bunga atau hadiah-hadiah kecil buat dia. Aku suka melihat ekspresinya yang tanpa banyak kata itu. Kadang dia memelukku sambil menitikkan air mata dan berkata terima kasih.


Padahal aku suka sekali dimanjakan oleh dia. Aku suka mendengar dia berkata I Love You, atau bilang kangen ke aku. Aku suka sekali belaiannya, sentuhannya. Tetapi dia bukan tipe yang romantic yang bisa mengekspresikan perasaannya. Dia jarang sekali menyatakan perasaannya. Aku sendiri tidak tahu kenapa aku tetap saja mau dan mencintai dia. Mungkin aku kena karmaku atau kutukan dari sumpahku sendiri yang aku langgar. Aku masih ingat, aku pernah bersumpah tidak akan jatuh cinta dan berelasi dengan seseorang seblum umurku 40 tahun. Bukan karena aku tidak laku atau tidak ada yang mau. Selama 20 tahun menjalin hubungan dengan 5 orang perempuan dan semuanya hanya memanfaatkan kebaikanku, mereka seperti lintah darah yang menghisap diriku habis samapai aku tidak bisa menabung.

Ketika ingin menjalin hubungan yang serius dengan seseorang dan berkomitmen, akhirnya aku ditinggal menikah begitu saja. Anik namanya, perempuan yang aku jadikan kekasih hampir tujuh tahun. Yang membuatku sempat berpikir bahwa ini akhir petualanganku. Sebetulnya aku tidak terlalu jatuh cinta dengannya tetapi dia memohon padaku untuk menjadikannya kekasih. Aku yang waktu itu menjomblo hampir dua tahun berpikir apa salahnya dicoba. Selama beberapa tahun dia membuktikan sebagai kekasih yang baik. Aku mulai bermimpi merancang masa depan bersama dia. Memiliki rumah kecil yang indah dan menjalani hidup bersama dia sampai tua.

Aku jadi tergantung dengan dia dan mulai menuruti semua keinginannya. Ketika dia mengatakan ingin membantu membiayai adiknya kuliah aku langsung menyetujuinya. Aku hanya berpikir, adiknya dia khan juga adikku. Ketika minta dbelikan motor, aku tidak menolaknya sama sekali. Membelikan TV, Kulkas, ranjang springbed, membangun rumah ayahnya di Subang, semua aku setujui tanpa banyak tanya. Setiap bulan aku mengirim uang untuk keluarganya. Aku penuhi semua kebutuhannya. Karena aku berpikir toh mereka sudah aku anggap seperti keluargaku juga. Tetapi aku benar-benar tidak menyangka ketika suatu hari dengan tatapan sedih, yang kukira dia sakit atau terlibat sesuatu. Dia menagatakan kalau akan dinikahkan dengan anak kepala desa oleh ayahnya. Dan dia tidak bisa menolak kehendak orang tuanya. Dia mengatakan kalau tidak ingin berpisah denganku dan meminta aku masih tetap mau jadi kekasihnya meskipun dia sudah menikah. Tentu saja aku menolak idenya itu dan seketika itu juga aku memutuskan hubungan kami.

Sejak putus dengan Anik, aku bersumpah untuk tidak mencari pacar atau berelasi sampai aku umur 40. Tetapi aku masih bisa having sex dengan perempuan manapun yang aku mau. Dengan wajah yang seperti Justin Beiber dan Mobil jatah dari kantor tentu gampang menggaet lesbian muda yang masih ababil. Setiap hari selalu aja ada yang mengajak aku untuk bercinta. Padahal aku selalu mengatakan terus terang sebelum melakukan hubungan sex. Aku selalu mengatakan bahwa aku tidak mau terikat, ini hanya hubungan sex, tidak ada ikatan atau paksaan, aku tidak mau diminta tanggung jawab jadi pacar, dan mungkin setelah bercinta aku akan menghilang dan juga mungkin akan lupa kalau kita pernah bercinta. Aku selalu memberikan nomer HP yang memang khusus untuk urusan seperti ini. Aku tidak pernah memberitahu tempatku bekerja, rumahku atau lainnya yang bersifat pribadi.

Jadi ini memang benar-benar murni hubungan sex sama-sama suka. Ada beberapa nama yang memang aku ingat, entah itu karena dia smart, cantik atau enak untuk diajak bercinta. Tetapi aku juga menghargai mereka. Kalau aku tahu mereka sudah mempunyai pasangan, baiasanya aku tidak lagi mau diajak bercinta atau menghubungi mereka. Aku juga memperlakukan mereka dengan baik dan gentle sehingga mereka selalu ketagihan dengan percintaan kami. Aku memang pandai memuaskan pasangan, membuat mereka nyaman, merasa dihargai dan penuh kelembutan meskipun itu hanya one night stand. Bagaimanapun mereka tetap perempuan sama seperti aku.

Aku orangnya juga pemilih, aku tidak suka dengan perempuan yang bau badan atau bau mulut. Biasanya aku selalu mengajak mereka keluar makan terlebih dahulu, ngobrol sambil mengukur kualitas mereka. Kalau kualitas 1 ‘cantik, smart dan seksi’, aku akan mengajaknya bercinta di hotel berbintang. Kalau biasa saja aku akan berpura-pura tidak punya tempat untuk bercinta dan biasanya mereka akan mengajak aku ke tempat kost nya. Setelah bercinta biasanya aku langsung pulang dan tidak pernah sampai menginap. Tetapi kalau kualitas 1, 2 atau 3 aku bisa sampai menginap dan akan ingat namanya.

Semua sahabatku sudah menyerah untuk memberi nasehat padaku. Kata mereka “Semoga suatu hari kamu terkena karma atas perbuatanmu”. Mereka berpikir aku seperti ini karena ditinggal menikah oleh Anik. Padahal bukan aku yang mengajak mereka bercinta tetapi mereka yang selalu menggodaku dan mengajakku bercinta di Facebook. Dari iseng-iseng aja akhirnya menjadi keterusan dan akhirnya aku seperti gigolo gratisan. Sahabatku tidak tahu bahwa sebenarnya akulah yang telah digunakan para femme untuk memuaskan mereka. Aku seperti mesin sex buat mereka dan mereka senang karena tidak ada ikatan. Bahkan si Indah mengatakan senang denga aku, karena dia sudah capek berhubungan dengan butchi yang selalu suka melarang, minta dilayani, harus nyiapin makan, cuci baju, udah gitu nggak pernah kasi uang dan nggak lembut seperti aku. Dia juga capek berelasi yang banyak aturan dan nggak jelas arahnya.

Aku benar-benar tobat dan takluk ketika ketemu dengan Melisa di suatu pertemuan Toastmaster. Waktu itu aku hanya sebagai guest karena diajak sahabatku dan belum menjadi member. Sedangkan Melisa menjadi salah satu pejabat di club itu. aku begitu kagum dengan gaya bicara bahasa Inggrisnya yang begitu sempurna. Aku mencoba berkenalan dengan dia ketika selesai pertemuan. Demi dia aku rela ikut bergabung, aku meminta Ina sahabatku untuk mencari tahu apakah Melisa seorang Lesbian atau bukan. Aku masih ingat kata Ina waktu itu,
“Apa kamu tidak mempunyai kemampuan melihat dia lesbian atau bukan?
“Aku sih merasa iya tapi khan bisa aja aku khilaf!” sekalian cari tahu dia sudah punya pacar atau belum?
“Dengan syarat kamu bayarin member toastmaster-ku selama satu tahun”
“Hah, gila! Tega ya kamu sama sahabat sendiri”
“Daripada kamu habisin uangmu untuk perempuan-perempuan yang nggak jelas khan mending bayarin aku, dan juga ini hal baik kok!”Katanya dengan muka serius
“Iya, deh! Asal kamu cariin info tentang dia ya atau comblangin aku dengan dia”
“Katanya nggak mau serius berelasi sebelum 40?Kata Ina sambil meledek aku.

Aku hanya tersenyum saja waktu itu. Wajahnya terus terbayang dan senyumnya membuatku mendadak jatuh cinta. Sesampai di rumah, aku langsung mencari namanya di facebook. Aku memang menemukannya tetapi dia tidak mempunyai mutual friend dengan teman-teman lesbianku. Mutual friendnya hanya dengan Ina. Aku langsung add dia dan mempelajari profilnya di Facebook. Dari film yang dia suka ada kemungkinan dia lesbian. Ternyata dia juga sedang online sehingga aku langsung di accept dan kami chatting. Ternyata mengobrol dengan dia sangat menyenangkan. Dia wawasannya luas, cerdas. Kesukaan kami banyak yang sama, mulai dari lagu, film dan juga buku. Tidak terasa kami semlaman chatting. Aku bertambah yakin kalau dia tidak mempunyai pacar karena, waktu itu hari sabtu dan dia di rumah saja. Aku mencoba memancing dan ternyata dia memang tidak mempunyai pacar.

Aku memberanikan diri mengajaknya keluar dan dia tidak menolaknya. Aku masih ingat bagaimana senangnya diriku waktu itu. Tekadku cuma satu, aku ingin menjadi pacarnya. Selama sebulan aku mendekati dia. Aku tahu kalau dia juga suka dengan diriku. Aku dapat melihat kalau dia orangnya sangat hati hati. Dia bukan perempuan gampangan, orangnya matang, dewasa dan penuh perhitungan. Sikapnya yang seperti itu makin membuatku jadi kasmaran. Akhirnya aku menyatakan cinta kepadanya. Dia tidak menolak cintaku, dia juga mencintaiku. Betapa aku jadi gemetaran ketika pertama kali menciumnya dan akan bercinta dengan dia. Aku seperti anak kemarin sore yang baru belajar bercinta, sampai membuka bh nya saja aku tidak bisa. Tanganku jadi dingin dan gemetar ketika melihat betapa indah tubuhnya. Aku sempat bengong terkesima dan tanpa sadar mengatakan “Oh, my God you are so beautiful!”

Aku belum pernah merasakan percintaan yang luar biasa seperti itu. Entah karena dia juga pintar atau karena aku sedang kasmaran sehingga semua terasa luar biasa. Setiap akhir pekan aku selalu menginap di tempatnya atau dia yang menginap di tempatku. Aku tidak mau terburu-buru untuk mengajaknya tinggal bersama. Aku tahu dia perempuan yang berbeda. Dia mempunyai harga diri yang tinggi, agak keras kepala, tidak suka tergantung. Dia sangat mandiri dan tidak suka dibantu. Dia juga tidak suka dibatasi atau diatur-atur. Dari awal dia sudah mengatakan padaku kalau dia sudah bekerja suka lupa waktu dan lupa kalau punya pacar. Itu sebabnya kenapa dia agak malas berelasi dengan seseorang. Dia juga tidak suka punya pacar yang suka cemburu atau curigaan. Aku yang sedang kasmaran mengiyakan saja semua yang dia katakan tanpa berpikir panjang. aku berpikir itu bukan suatu masalah. Aku berjanji akan menerima semuanya dan aku juga berjanji akan membahagiakan, setia mendampinginya dan selalu mensupport dia.

Setelah 3 bulan kami memutuskan tinggal bersama. Semua masih terasa indah dan menyenangkan. Kami melakukan semuanya bersama-sama, memasak, mencuci, membersihkan rumah, mandi dan aku benar-benar bahagia. Aku betul-betul menikmati semuanya. Sahabatku semua tidak percaya kalau akhirnya aku berelasi kembali dengan seseorang. Mereka sampai bertaruh bahwa paling lama enam bulan kami akan putus. Apa yang dikatakan sahabatku hampir menjadi kenyataan. Waktu itu dia akan launching produk baru. Dia sering bekerja sampai larut malam di kantor dan sering lupa memberi tahu padahal aku sudah membeli makan malam bersama. Di rumahpun dia juga bekerja dan aku sering merasa diabaikan. Aku jadi curiga kalau dia sedang ada affair dengan seseorang. Perasaan diabaikan membuat pikiranku jadi sempit. Aku mendadak jadi orang yang serakah akan perhatian dia, menjadi egois dan merasa kesal. Aku merasa harus bersaing perhatian dengan pekerjaannya. Pagi-pagi dia sudah berangkat tanpa menungguku bangun atau sarapan bersama seperti biasanya.  

Aku jadi seperti anak kecil yang merajuk dan sering marah marah tanpa sebab. Ketika aku sedang uring-uringan dia memang memilih diam dan menarik diri. Hal itu semakin membuatku bertambah kesal. Karena emosi aku mengeluarkan kata-kata yang tidak seharusnya aku ucapkan.
“Mungkin memang benar, kalau kamu itu tidak cocok untuk berelasi dengan aku. Kamu lebih menikmati pekerjaanmu dan terbiasa hidup sendiri. Kamu sama sekali tidak pernah memikirkan aku dan perasaanku. Aku jadi berpikir apa benar kamu mencintaiku?”

Kulihat dia terkejut dengan kata-kataku, ada luka dimatanya. Aku tidak tahu apa yang dipikirkan. Tapi aku melihat dia berusaha menahan air matanya.

“Dari awal aku sudah memberitahu kamu siapa aku dan bagaimana aku. Maaf kalau aku sudah mengecewakanmu dan tidak seperti yang kamu harapkan. Mungkin kamu benar, seharusnya aku tidak menerima ajakanmu untuk berelasi dan tidak membiarkan perasaanku jatuh cinta denganmu. Aku tidak bisa memaksa kamu untuk mengerti aku dan menerima aku. Aku juga tidak ingin menjadi beban perasaanmu, membuatmu selalu kuatir dan hubungan kita menjadi tidak enak. Mungkin kamu benar aku tidak layak mempunyai pasangan sebaik kamu. Aku memang tidak cukup baik untuk kamu cintai. Mungkin benar cintamu lebih besar darpida cintaku ke kamu”.

Setelah berkata seperti itu dia berdiri dan mengambil beberpa pakaiannya dan diletakkan dalam koper. Aku terpaku, terdiam tidak tahu harus berbicara apa. Aku sungguh terkejut dengan jawabannya dan sikapnya. Aku tidak pernah menyangka kalau dia akan bebericara seperti itu dan memutuskan hubungan kami begitu saja. Aku tiba-tiba jadi membeku. Aku juga tidak berusaha menahan kepergiannya. Ketika dia mengambil kunci mobilnya dan keluar. Sebelum keluar dari pintu dia berhemti dan aku berharap dia berubah pikiran. Dia menoleh dan berkata “Sungguh menyedihkan kalau kamu tidak tahu dan tidak dapat merasakan kalau aku sangat mencintaimu”

Mulutku terkunci, aku menjadi speechless. Otakku mengatakan untuk mencegah kepergiannya. Memintaku untuk mengejarnya dan memeluknya. Tetapi tubuhku diam membeku, emosi menguasai seluruh syarafku untuk tetap diam. Aku hanya bisa menatap kepergiannya. Tiba-tiba aku terduduk dan perutku langsung mual. Aku langsung muntah-muntah dan tidak lama menjadi diare. Tapi aku juga terlalu gengsi untuk menelponnya minta kembali. Aku menangis sejadi jadinya. Semua perasaan bercampur aduk menjadi satu membuatku seperti butiran debu.

Baru kali ini aku merasakan betapa sakitnya hatiku, rasa sakit yang menusuk hingga terasa dipunggungku. Selama ini aku tidak pernah merasakan patah hati dengan siapapun. Bahkan ketika ditinggal Anik sekalipun aku tidak menangis atau menyesal. Badanku seperti melayang-layang ringan tak bertenaga. Hatiku hancur berantakan, sakit yang tak terkatakan, menusuk-nusuk hatiku. Aku belum pernah merasakan kesedihan kehilangan seseorang yang begitu mendalam seperti saat ditinggalkan dia. Aku hanya meringkuk di ranjang dan menangis tanpa bisa berhenti. Aku mencium bantal yang biasa digunakannya. Masih tercium harum tubuhnya dan membuatku makin terluka. Aku benar-benar menyesal dengan apa yang aku lakukan. Aku yang berjanji akan membahagiakan dia, mengerti dia, menerima dia apa adanya. Kenapa aku sendiri yang melanggarnya.

Tiba-tiba aku tersadar, dia akan pergi kemana? Bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan dia. Aku sungguh orang yang tidak bertanggung jawab. Kenapa aku membiarkan dia pergi malam-malam seperti ini. aku mencoba menelpon hp nya tapi tidak aktif. Semakin kacau perasaanku, semuanya bercampur aduk menjadi satu. Aku melihat jam ini sudah jam dua malam. Aku tidak mungkin menelpon teman dia atau keluarganya di Bandung. Aku benar-benar menyesal dan dilanda panic attack. Betapa piciknya pikiranku dan aku sungguh bukan seorang yang gentle membiarkan pasangan keluar dari rumah di tengah malam. Meskipun aku tahu Melisa seorang yang mandiri dan tidak mungkin akan terjadi sesuatu. Tetapi tetap saja tindakanku bukan tindakan seorang kesatria. Aku yang selama ini selalu membanggakan diri sebagai seorang gentlemen ternyata sama saja dengan Butchi yang suka menguasai femmenya. Aku yang selama ini tidak mau dibilang butchi dan patriaki ternyata aku sama dengan mereka.

Kejadian itu adalah kejadian yang sangat berharga buat kami berdua. Aku akhirnya bisa menghubungi dia setelah seharian mencoba telpon ke kantor dan teman-temannya, dan mereka semua tidak tahu keberadaan Melisa. Aku semakin panic, sedih, gelisah, merasa bersalah, dan menyesal. Betapa leganya aku ketika akhirnya dia mengangkat telponku dan ternyata dia tinggal di hotel tempat kami pertama kali bercinta. Aku segera menyusulnya dan meminta maaf. Aku memeluk dia erat-erat dan menagis seperti anak kecil, begitu juga dengan dia. Aku baru sadar betapa berharganya dia buatku dan betapa aku sangat takut kehilangan dirinya. Dan aku telah melepaskan dia, membiarkan dia pergi. Aku benar-benar menyesal dan aku menginginkan dia kembali dalam pelukkanku. Aku tidak ingin dia pergi dari hidupku.  

Ketika kami kembali memutuskan bersama, kami belajar untuk mengahargai satu sama lain. Dia selalu berusaha sms atau menelpon aku, bila harus lembur atau bepergian. Akupun juga belajar untuk tidak terlalu sensitive dan manja terhadap dia. Kami belajar untuk saling mengerti, saling percaya, saling mendukung dan yang paling penting terus saling mencintai. Kami belajar untuk selalu mengkomunikasikan setiap msalah dengan kepala dingin dan tidak mudah mengatakan putus atau berpisah. Aku melihat banyak sekali perubahan dia terhadapku. Dia jadi lebih perhatian dan mencintaiku. Dan akupun belajar lebih santai dan mengerti tentang dia.

Kalau dia jauh aku memikirkan kenangan indah dan hari hari ketika kita bersama. Aku tidak lagi mengotori pikiranku dengan pikiran negative. Aku tahu dia juga mencintaiku dengan caranya sendiri. Aku berusaha tidak merepoti dia dengan perasaanku yang memang kadang terlalu sensitive. Aku hanya memikirkan kesenangan yang akan kami alami bila dia datang. Membayangkan memeluk dia dan bercinta. Dia pun bila habis bepergian akan mengambil cuti sehari atau dua hari agar bisa bersamaku, saling memanjakan, bercinta tiada henti dan mendengarkan dia bercerita. Kami berkasih-kasihan layaknya love birds yang tak terpisahkan. Dengan begitu hubungan kami menjadi semakin kuat dan cinta kami selalu membara.

Rasanya aku tak sabar bertemu dia besok, rasa rinduku sudah tak terbendung. Aku berusaha memejamkan mataku dan berharap bertemu dia dalam mimpi.

*********

Tell me her name
I want to know
The way she looks
And where you go
I need to see her face
I need to understand
Why you and I came to an end

Tell me again
I want to hear
Who broke my faith in all these years
Who lays with you at night
While I’m here alone
Remembering when I was your own

I let you go
I let you fly
Why do I keep on asking why
I let you go
Now that I found
A way to keep somehow
More than broken vow

Tell me the words I never said
Show me the tears you never shed
Give me the touch
That one you promise to be mine
Or has it vanished for all time

I close my eyes
And dream of you and I
And then I realize
There’s more to love than only bitterness and lies
I close my eyes

I’d give away my soul
To hold you once again
And never let this promise end

I let you go
I let you fly
Why do I keep on asking why
I let you go
Now that I found
A way to keep somehow
More than broken vow


2 comments: